Jurnalis: Pras | Editor: Ang/Bintang34 | Narasumber: Prof. Arna Suryani
BUNGO, NUSAREPORT.COM – Legalisasi sumur minyak rakyat bukan sekadar urusan administratif. Ia adalah penanda zaman baru dalam keadilan ekonomi daerah. Pengesahan Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Migas kini membuka pintu yang selama ini tertutup rapat bagi ribuan pelaku energi rakyat, khususnya di Provinsi Jambi.
Di tengah ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dikuasai korporasi besar, regulasi ini datang seperti cahaya di ujung lorong panjang. Bungo SDGs Center, sebuah lembaga studi pembangunan berkelanjutan, memandang regulasi tersebut sebagai momentum langka yang bisa mengubah wajah ekonomi lokal. Dengan dasar hukum yang jelas, lebih dari 8.300 titik sumur minyak rakyat di Jambi yang sebelumnya berada di wilayah abu-abu hukum kini memiliki peluang beroperasi secara legal dan kontributif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Distribusi sumur tersebut tersebar di Kabupaten Batanghari (7.176 titik), Muaro Jambi (802 titik), dan Sarolangun (350 titik). Jumlah yang besar ini bukan hanya mencerminkan potensi energi, tetapi juga menggambarkan potensi ekonomi rakyat yang selama ini tersembunyi di balik stigma “sumur ilegal”.
“Harusnya ini bisa meningkatkan PAD, karena dalam skema kerja sama yang baru ini ada insentif hingga 10 persen participating interest (PI) untuk BUMD, koperasi, atau UMKM yang bermitra dengan kontraktor. Tapi tentu, keberhasilan tidak akan datang otomatis,” ujar Prof. Arna, Pemerhati Kebijakan Ekonomi Provinsi Jambi. Menurutnya, keberhasilan transformasi ini tergantung pada tata kelola yang transparan, SDM yang siap, dan kelembagaan yang sehat.
Poin ini penting: legalisasi hanyalah awal. Tanpa tata kelola yang kokoh, peluang ini bisa berubah menjadi bencana rente baru. Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, dituntut lebih dari sekadar menyusun SK legalitas. Mereka harus membangun sistem kelembagaan, melakukan pengawasan yang ketat, dan menutup celah bagi dominasi elit lokal.
Dalam perspektif kebijakan fiskal, Bungo SDGs Center juga menekankan pentingnya sinergi antara daerah dan pusat. Para wakil rakyat asal Jambi di DPR RI seperti Syarif Fasha, Cek Endra, dan Rocky Candra didorong untuk memperjuangkan integrasi kebijakan SDGs energi rakyat dengan alokasi anggaran pelatihan, pembangunan infrastruktur migas rakyat, serta pembentukan koperasi energi berbasis komunitas.
Mengapa ini penting? Karena energi rakyat tidak boleh jatuh ke tangan segelintir elite. Ia harus menjadi milik publik yang berkeadilan. Legalisasi sumur minyak rakyat di Jambi adalah ujian nyata tentang siapa sebenarnya yang diuntungkan dari regulasi ini, rakyat banyak atau kelompok terbatas?
Transformasi ini tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi multipihak regulator, pelaksana kebijakan, pengawas legislasi, masyarakat sipil, hingga kampus-kampus, untuk menjamin bahwa energi rakyat betul-betul berpihak pada rakyat.
Dan dari tanah Jambi, kita berharap lahir sebuah model baru pengelolaan sumber daya alam, yang berpihak pada masyarakat kecil, berlandaskan transparansi, dan bermuara pada keadilan sosial.
Keadilan ekonomi bukan sekadar slogan. Ia harus dibangun dari fondasi yang kuat, legalitas, kelembagaan, dan keberpihakan. Dan dalam konteks minyak rakyat, Provinsi Jambi kini berada di persimpangan sejarah itu.
Redaksi