Oleh :

Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H.

(Peneliti Bungo SDGs Center/Dosen IAKSS/Advokat Peradi)

Pemberian amnesty kepada Hasto Kristiyanto, tokoh politik yang diduga terlibat dalam suatu perkara pidana, merupakan wacana yang menimbulkan gelombang pro dan kontra di ruang publik. Tidak hanya karena status politiknya sebagai Sekretaris Jenderal partai besar, tetapi juga karena potensi dampaknya terhadap tatanan hukum dan prinsip due process of law yang menjadi fondasi negara hukum Indonesia. Apakah pemberian amnesty ini merupakan bentuk kebijakan yang sah dalam bingkai konstitusi, atau justru menjadi sinyal melemahnya supremasi hukum oleh intervensi kekuasaan eksekutif?

Dalam konteks hukum Indonesia, amnesty adalah penghapusan akibat hokum pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang atas tindakan pidana tertentu, biasanya yang bermuatan politik atau menyangkut kepentingan publikluas. Amnesti dibedakan dari grasi dan abolisi. Grasi menghapuskan hukuman pidana setelah adanya putusan inkracht, abolisi menghentikan proses pidana sebelum putusan dijatuhkan, sedangkan amnesty menghapuskan seluruh akibat hokum pidana baik yang telah maupun belumdi putuskan.

Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Frasa “dengan memperhatikan pertimbangan DPR” menunjukkan bahwa Presiden tidak bias secara sepihak memberikan amnesti, melainkan harus melalui mekanisme konstitusional berupa konsultasi dan pertimbangan resmi dari lembaga legislatif. Ini adalah bentuk checks and balances untuk memastikan bahwa kewenangan  prerogative Presiden tetap berada dalam koridor hukum. Namun, konstitusi tidak menjelaskan lebih lanjut batasan dan criteria pemberian amnesti, sehingga dapat membuka ruang tafsir yang luas dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.

Untuk menakar legalitas dan kelayakan amnesty untuk Hasto Kristiyanto pertama-tama, harus dipahami bahwa amnesty biasanya diberikan dalam konteks konflik politik, pelanggaran hukum oleh kelompok yang dianggap memiliki dasar ideologis tertentu, atau dalam rangka rekonsiliasi nasional. Contoh historisnya adalah amnesty terhadap eks anggota Partai Komunis Indonesia atau kelompok separatis yang menyerahkan diri.

Dalam kasus Hasto Kristiyanto, dugaan keterlibatannya dalam kasus pidana (misalnya dalam kasus suap atau obstruction of justice) tidak menyangkut pelanggaran politik atau kepentingan nasional yang dapat dijustifikasi untuk rekonsiliasi, melainkan tergolong sebagai tindak pidana umum dalam ranah hokum positif dan penegakan keadilan. Dengan demikian, pemberian amnesty dalam konteks ini menjadi sangat problematic secara yuridis.

Secara hukum, tidak ada dasar normatif yang cukup untuk mengategorikan dugaan tindak pidana yang dilakukan Hasto sebagai tindakan yang layak diberikan amnesty. Bahkan, jika amnesty tetap diberikan, maka hal ini akan menciderai prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan memperlemah kepercayaan public terhadap integritas system peradilan pidana di Indonesia.

Dari perspektif hokum tata negara, pemberian amnesty kepada Hasto, jika dilakukan, berpotensi menimbulkan preseden negative dalam praktik ketata negaraan, khususnya terkait penyalahgunaan hak prerogative Presiden. Dalam konteks constitutional democracy, hak prerogative tidak boleh digunakan untuk menyelamatkan actor politik tertentu dari pertanggungjawaban hukum. Presiden sebagai kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan, harus menunjukkan keteladanan dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan dan supremasi hukum.

Hak prerogative bukanlah kekuasaan yang absolut. Hal ini ditegaskan dalam praktik konstitusional modern dan yurisprudensi  Mahkamah Konstitusi bahwa setiap kewenangan eksekutif harus tetap tunduk pada prinsip akuntabilitas dan checks and balances. Dengan memberikan amnesty kepada seseorang yang secara nyata sedang menjalani atau menghadapi proses hokum pidana, Presiden dapat dianggap melampaui batas konstitusional dan melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Dari sudut hokum administrasi, amnesty merupakan keputusan administrative Presiden yang bersifat individual, konkret, dan final, sehingga dapat dikategorikan sebagai beschikking atau keputusan tata usaha negara. Meskipun secara normative keputusan prerogative ini tidak dapat diuji di PTUN, namun dari segi prinsip hokum administrasi, tetap wajib memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, dan asas perlindungan terhadap hak-hak warga negara lainnya.

Jika amnesty diberikan tanpa proses verifikasi hukum yang transparan, tanpa konsultasi mendalam dengan lembaga penegak hukum, dan semata-mata karena pertimbangan politik, maka keputusan itu dapat dikategorikan sebagai bentuk detournement de pouvoir, yakni penyalahgunaan wewenang untuk tujuan yang menyimpang dari maksud pemberian kewenangan tersebut.

Pemberian amnesty kepada Hasto Kristiyanto akan menjadi sinyal kuat bahwa proses hukum di Indonesia masih tunduk pada kekuasaan politik, bukan pada prinsip hukum yang netral dan adil. Hal inidapat mendorong budaya impunitas, di mana pejabat public merasa bisa lolos dari jeratan hokum selama mereka memiliki kedekatan politik dengan penguasa. Dari sudut moral politik, tindakan semacam ini memperkuat persepsi public bahwa hokum tajamke bawah, tumpul keatas, dan bahwa hak istimewa hanya berlaku bagi segelintir elite politik. Jika ini dibiarkan, maka proses demokratisasi dan reformasi hukum yang dibangun pasca-Orde Baru menjadi mundur dan kehilangan makna.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa, amnesty memang merupakan hak prerogative Presiden yang sah menurut UUD 1945. Namun, dalam kasus Hasto Kristiyanto, pemberian amnesty tidak hanya problematic secara normatif, tetapi juga berbahaya secara konstitusional. Presiden, sebagai symbol pemersatu bangsa dan pelaksana kekuasaan pemerintahan, harus menolak segala bentuk tekanan politik untuk menggunakan hak prerogative secara semena-mena. Amnesti seharusnya menjadi jalan keluar bagi persoalan politik atau kemanusiaan berskala nasional, bukan sebagai alat politik untuk menyelamatkan sekutu dari jerat hukum.

Dalam negara hukum yang demokratis, tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum termasuk para pejabat partai maupun pejabat negara. Pemberian amnesty kepada Hasto, jika terjadi, akan menjadi titik balik yang kelam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.

Pras/*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *