Oleh :

Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H.

(Peneliti Bungo SDGs Center/Dosen IAKSS/AdvokatPeradi)

Pemberianabolisi oleh Presiden kepada seseorang yang sedang menghadapi proses hokum pidana selalu menjadi isu yang sensitive dalam system ketatanegaraan Indonesia, terlebih apa bila yang diberikan abolisi adalah seorang tokoh public atau pejabat negara seperti Thomas Trikasih Lembong. Keputusan Presiden tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai batas-batas kewenangan eksekutif dalam system demokrasi, serta sejauh mana praktik tersebut sesuai dengan prinsip negara hukum, asas due process of law, dan prinsip akuntabilitas kekuasaan.

Secara konstitusional, abolisi adalah hak prerogative Presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bunyi pasalnya adalah: “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ketentuan ini memberikan dasar hokum bagi Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang sedang dalam penyidikan, penuntutan, atau bahkan persidangan, dengan catatan bahwa pemberian abolisi tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, dalam pelaksanaannya, Presiden tidak dapat secara mutlak menggunakan kekuasaan ini tanpa terlebih dahulu menimbang aspek hukum dan politik secara cermat dan hati-hati.

Dalam konteks kasus Tom Lembong, tokoh yang dikenal sebagai mantan Kepala BKPM dan figure sentral dalam beberapa kebijakan ekonomi nasional, keputusan Presiden untuk memberikan abolisi terhadapnya menimbulkan implikasi hukum dan politik yang signifikan. Jika abolisi tersebut diberikan ketika proses hukum masih berjalan, belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan tidak ada justifikasi hukum yang transparan, maka hal ini dapat dikritisi sebagai bentuk intervensi eksekutif terhadap proses penegakan hukum.

Dari perspektif hukum tata negara, penggunaan hak prerogative Presiden termasuk pemberian abolisi bukanlah kekuasaan yang berdiri di luar control system hukum. Dalam negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, setiap penggunaan kewenangan negara harus tunduk pada prinsip-prinsip rule of law dan checks and balances. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya telah menegaskan bahwa hak prerogative Presiden tidak bersifat absolut. Bahkan, dalam Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 dan putusan lainnya, ditegaskan bahwa segala bentuk kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden, meskipun disebut prerogatif, tetap harus digunakan secara bertanggung jawab dan dalam koridor hukum.

Dalam halini, pertimbangan DPR sebagaimana dimandatkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tidak boleh hanya menjadi formalitas semata. DPR berkewajiban menilai secara objektif apakah terdapat alasan kuat yang mendasari pemberian abolisi tersebut, seperti adanya kriminalisasi, penegakan hukum yang menyimpang, atau pertimbangan keadilan substantif. Jika DPR memberikan persetujuan secara politis tanpa landasan hukum yang jelas, maka fungsi pengawasan legislative menjadi lumpuh, dan prinsip checks and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dari sisi hukum administrasi negara, pemberian abolisi merupakan bentuk besluit atau keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final. Keputusan ini dapat diuji secara administratif, baik melalui mekanisme keberatan administrative maupun dalam kontek syudisial pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika ada pihak yang merasa dirugikan. Prinsip penting dalam hukum administrasi negara adalah bahwa setiap keputusan pejabat publik harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas kepastian hukum, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir), dan asas perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

Dalam hal Tom Lembong, apa bila abolisi diberikan tanpa pertimbangan objektif, atau justru diberikan untuk menghindari proses pembuktian yang sah dan terbuka di pengadilan, maka keputusan Presiden berpotensi bertentangan dengan asas kecermatan dan asas keadilan. Lebih lanjut, keputusan itu juga dapat dinilai sebagai bentuk maladministrasi, terutama jika menimbulkan ketidak percayaan public terhadap penegakan hukum dan menurunkan legitimasi lembaga peradilan.

Isu lain yang patut dikritisi adalah potensi konflik kepentingan dalam proses pemberian abolisi. Mengingat Tom Lembong pernah menjadi bagian dari pemerintahan dan memiliki kedekatan politik dengan Presiden, maka sangat penting untuk memastikan bahwa abolisi tidak diberikan atas dasar hubungan personal atau afiliasi politik. Presiden sebagai kepala negara harus menjaga objektivitas dan integritas dalam menjalankan kewenangannya, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut pejabat publik atau tokoh yang terafiliasi dengan kekuasaan.

Dari sudut pandang politik hukum, pemberian abolisi dalam situasi seperti ini menimbulkan kekhawatiran tentang melemahnya prinsip due process of law dan equality before the law. Pemberian pengampunan hukum terhadap satu individu, tanpa melalui proses pengadilan yang fair dan transparan, dapat menimbulkan kesan bahwa hukum hanya tajam kebawah namun tumpul keatas. Hal ini tentu berbahaya bagi legitimasi hukum itu sendiri dan merusak tatanan demokrasi konstitusional yang sedang dibangun.

Oleh karenaitu, pemberian abolisi terhadap Tom Lembong, jika benar telah dilakukan, harus diaudit secara hukum dan dikritisi secara akademik, agar tidak menjadi preseden buruk dalam system ketatanegaraan Indonesia. Negara hukum hanya dapat ditegakkan jika semua pejabat publik, tanpa terkecuali, tunduk pada hukum dan menghormati proses peradilan yang sah.

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, abolisi adalah instrument hukum yang sah dan memiliki landasan konstitusional. Namun, dalam praktiknya, instrument ini tidak boleh digunakan secara sembarangan atau sebagai alat politik untuk menyelamatkan individu tertentu dari proses hukum. Setiap pemberian abolisiharus disertai dengan pertimbangan yang rasional, adil, dan transparan, serta dikaji dari berbagai sudut, baik yuridis, etis, maupun sosiologis. Dalam kasus Tom Lembong, pemerintah harus membuka informasi terkait pertimbangan hukum dan politik dari keputusan tersebut kepada publik, guna menjaga prinsip akuntabilitas dan keadilan dalam negara hukum demokratis.

Pras/*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *