
NUSAREPORT- Muara Bungo,- Pilkada serentak telah berlalu, namun gema proses politik di Kabupaten Bungo masih terasa di banyak ruang percakapan warga. Di warung kopi, di sela kegiatan kantor, hingga dalam diskusi kecil komunitas, pertanyaan yang berulang muncul dari masyarakat: apa yang sebenarnya berubah setelah pencoblosan? Pertanyaan sederhana itu menunjukkan bahwa demokrasi tidak berhenti pada penghitungan suara. Justru setelah itu, pekerjaan besar untuk membangun pemilih yang cerdas dan melek politik kembali menunggu.
Di sejumlah kecamatan, terutama daerah pinggiran dan kelompok pemilih muda, sempat terlihat tanda-tanda apatisme. Sebagian warga memilih datang ke TPS karena ajakan teman, sebagian lain mengaku tidak mengikuti perkembangan politik dan hanya “mengalir saja”. Situasi ini menjadi perhatian penting bagi para penyelenggara pemilu, pemerhati demokrasi, dan alumni Sekolah Pemilu di Bungo. Mereka melihat bahwa tantangan terbesar demokrasi lokal bukan lagi sebatas teknis pemungutan suara, melainkan bagaimana menjadikan warga benar-benar memahami hak politiknya.
Ziqri Yulian, S.H., Alumni Sekolah Pemilu Angkatan I, menilai bahwa Pilkada terbaru memberi gambaran jelas tentang perlunya pendekatan baru dalam pendidikan politik. Menurutnya, pemilih Bungo sebenarnya memiliki modal sosial yang kuat, namun belum cukup mendapatkan ruang pembelajaran politik yang dekat dengan keseharian mereka. “Banyak warga yang mau belajar, tapi tidak ada wadah yang rutin dan aman untuk berdiskusi. Pendidikan politik jangan hanya muncul saat kampanye,” ujarnya. Ia percaya bahwa literasi politik yang berkelanjutan akan membantu pemilih menilai calon secara lebih rasional dan mengurangi ketergantungan pada opini singkat atau informasi yang belum terverifikasi.
Pandangan serupa datang dari Mohammad Adha, S.Sos., mantan PPK yang pernah terlibat langsung dalam teknis penyelenggaraan pemilu di lapangan. Ia mengamati bahwa sebagian pemilih masih datang ke TPS dengan motivasi yang terbatas; ada yang mengikuti tokoh masyarakat, ada yang sekadar menjalankan kewajiban tanpa memahami dampaknya. “Ini bukan persoalan kemauan, tapi akses pengetahuan. Di tingkat bawah, penyelenggara sering menjadi sumber informasi politik satu-satunya bagi warga,” katanya. Ia menambahkan bahwa kemampuan penyelenggara di tingkat kecamatan dan desa perlu diperkuat agar dapat menjelaskan isu-isu politik dengan lebih sederhana dan relevan.
Dari pengalaman dua sosok ini seorang alumni pendidikan pemilu dan seorang mantan penyelenggara teknis terlihat bahwa Bungo membutuhkan ekosistem literasi politik yang lebih terstruktur. Sosialisasi pemilu yang bersifat teknis tidak cukup untuk menciptakan pemilih yang berpikir kritis. Warga butuh penjelasan yang langsung bersentuhan dengan kehidupan mereka: bagaimana kebijakan publik mempengaruhi harga kebutuhan pokok, bagaimana anggaran desa ditentukan, atau bagaimana memilih calon pemimpin yang punya rekam jejak jelas. Ketika politik dipahami sebagai hal yang berdampak nyata, bukan sekadar ritual lima tahunan, demokrasi menjadi lebih hidup.
Momentum pascapilkada ini menjadi waktu terbaik bagi berbagai pihak KPU, Bawaslu, pemerintah daerah, kampus, dan komunitas pemuda untuk bergerak bersama. Alumni Sekolah Pemilu Angkatan I juga memiliki peluang besar menjadi motor penggerak baru di tengah masyarakat. Mereka bisa turun ke desa, membuka ruang diskusi, membuat konten edukatif, hingga menemani warga mempelajari isu-isu publik secara objektif. Di sisi lain, penyelenggara di tingkat kecamatan dan desa bisa memperluas perannya, tidak hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai komunikator demokrasi yang menembus batas administratif.
Bungo memiliki kesempatan besar untuk menjadi salah satu daerah yang menempatkan literasi politik sebagai kebutuhan mendesak, bukan sekadar formalitas. Keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada lembaga penyelenggara, tetapi juga pada partisipasi aktif warga yang mau terus belajar. Demokrasi akan semakin bermakna jika warga tidak hanya datang ke TPS, tetapi juga memahami mengapa suara mereka penting, bagaimana kebijakan bekerja, dan bagaimana mengawasi kepemimpinan terpilih secara kritis namun konstruktif.
Pilkada mungkin telah berakhir, tetapi kesadaran politik warga tidak boleh ikut padam. Justru di masa tenang inilah, ketika hiruk pikuk kampanye mereda, ruang refleksi terbuka luas. Kerja mencerdaskan pemilih adalah tanggung jawab bersama. Dan dari Bungo, ada harapan baru bahwa demokrasi lokal dapat tumbuh lebih matang melalui pendidikan politik yang membumi, inklusif, dan digerakkan oleh masyarakatnya sendiri.(Redaksi)