
NUSAREPORT – Jambi ,- Komisi XII DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, di Senayan, Rabu (3/12/2025), di tengah sorotan publik atas bencana ekologis yang menewaskan 753 orang dan berdampak pada lebih dari 3,3 juta warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Rapat dibuka dengan pernyataan keprihatinan Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, yang menegaskan bahwa tragedi ini bukan hanya urusan kemanusiaan, tetapi cermin gagalnya tata kelola lingkungan yang terlalu lama dikompromikan oleh kepentingan ekonomi-politik. “Kami berharap Menteri Lingkungan Hidup dapat menjadikan hal ini sebagai momentum mengevaluasi tata kelola lingkungan di wilayah rentan bencana,” ujar Putri Zulhas.
Dalam forum yang sama, Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa pemerintah telah mengawasi ratusan perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran. Ia mengulang data resmi yang disampaikannya dalam konferensi pers di Jakarta, 17 September 2025, bahwa KLH telah memeriksa hampir seribu entitas usaha yang berpotensi merusak lingkungan. “KLH telah melakukan pengawasan terhadap 921 perusahaan dan ditemukan pelanggaran di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” kata Hanif.
Bencana di Sumatera memperlihatkan pola yang berulang: aktivitas ekstraktif yang menghasilkan keuntungan jangka pendek, tetapi meninggalkan risiko ekologis jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat. Dalam perspektif ekonomi-politik, bencana bukan hanya akibat aktivitas industri, melainkan juga hasil dari relasi antara korporasi dan institusi negara yang kerap membuka ruang kompromi dalam izin, pengawasan, dan penegakan aturan. Oleh karena itu, desakan publik agar pemerintah tidak hanya menindak perusahaan, tetapi juga mengungkap pejabat yang lalai atau terlibat pembiaran, menjadi penting agar akuntabilitas tidak berhenti pada level korporasi.
Jika langkah KLH dan tekanan DPR RI dijalankan secara konsisten dan transparan, tragedi ini dapat menjadi titik balik. Bukan sekadar respons terhadap bencana, tetapi koreksi struktural terhadap cara negara mengelola sumber daya alam dari perizinan hingga penegakan hokum agar pembangunan tidak terus dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan dan hilangnya ribuan nyawa. (Redaksi)