Jurnalis: Angga Saputra / Editor: Redaksi / Narasumber : Acep Sopandi

BUNGO, NUSAREPORT.COM – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menggagas program Sekolah Rakyat untuk Rakyat Indonesia sebagai solusi konkrit penyediaan pendidikan berkualitas yang dapat diakses secara gratis oleh anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Bukan sekadar wacana, Presiden Prabowo menunjukkan komitmen kuat dengan menjadikan sekolah rakyat ini sebagai program prioritas nasional. Yang membedakan, sekolah-sekolah ini dirancang berasrama dan memiliki pendekatan pendidikan yang holistik serta inklusif.

Komitmen tersebut pertama kali diumumkan secara resmi dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 21 Maret 2025. Dalam forum tersebut, Presiden menyatakan bahwa pemerintah akan membangun 200 sekolah berasrama pada tahun ini, dengan target masing-masing sekolah menampung 1.000 siswa. Tak heran, gagasan ini langsung menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, mulai dari pemerintah daerah, akademisi, hingga masyarakat akar rumput di berbagai pelosok tanah air.

Namun lebih dari sekadar pembangunan fisik, Presiden menegaskan bahwa sekolah rakyat adalah langkah strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan. “Anak orang kurang mampu tidak boleh tetap miskin. Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan,” ujar Presiden Prabowo dalam pidatonya kala itu.

Kini, Agustus segera tiba. Dalam hitungan hari, Indonesia akan genap berusia 80 tahun, memasuki masa yang oleh banyak pihak disebut sebagai usia emas. Namun, di tengah semangat pembangunan ini, pelaksanaan program Sekolah Rakyat di sejumlah daerah dinilai belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Salah satunya adalah di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang masih terlihat stagnan dalam merespons arahan Presiden tersebut.

Menanggapi hal ini, Acep Sopandi, Peneliti yang juga merupakan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat di Pusat Studi Bungo SDGs Center, menyampaikan bahwa ada sejumlah langkah awal yang bersifat teknis namun sangat strategis agar program Sekolah Rakyat dapat terimplementasi dengan baik.

Langkah pertama, menurutnya, adalah melakukan pencermatan terhadap Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk mengidentifikasi calon siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.

Langkah kedua, adalah memverifikasi dan memvalidasi data tersebut dengan melibatkan pemerintah desa dan kelurahan. Fokusnya ialah mendata anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah, terutama pada jenjang pendidikan yang paling mendesak.

Langkah ketiga, barulah pemerintah daerah dapat menentukan apakah akan membangun sekolah baru atau merevitalisasi aset pendidikan yang sudah ada, dengan menggunakan formulir identifikasi sarana prasarana (sarpras) sesuai juknis yang berlaku.

Langkah keempat, adalah membentuk berbagai gugus tugas pendukung: mulai dari satgas kurikulum, perekrutan wali asuh, hingga penyusunan tim teknologi informasi (IT) untuk mendukung sistem belajar dan manajemen sekolah.

Acep menegaskan bahwa program ini tidak bisa dikerjakan secara sporadis, apalagi sekadar seremonial. Ia membutuhkan strategi jangka panjang, koordinasi lintas sektor, dan kerja kolaboratif antara pusat dan daerah.

Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo:

“Kita harus belajar dari sejarah. Tidak ada pembangunan bangsa yang bisa diselesaikan dalam lima atau sepuluh tahun. Ini adalah kerja keras puluhan tahun, sejak 1945 dan seterusnya.”

Jika demikian, pertanyaan yang layak diajukan:

Akankah pemerintah daerah siap berlari bersama komitmen Presiden untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan rakyat? Atau justru kembali tenggelam dalam rutinitas administratif yang jauh dari keberpihakan pada rakyat miskin?

Redaksi/*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *